contoh Cerpen Bahasa indonesia

23:14 Fatihurrahman 0 Comments




Malang, 12th April 215
Hitaf Tanu
Si    h i t a F  
Sunyi senyap ditemani dendangan melodi jangkrik seakan-akan mengisi kegelapan hati ku.  Di sebuah kegelapan gubuk dengan berjuta kemalangan didalamnya kisah ku bermula. Tempat aku dan keluarga kecilku bertahta dan mengarungi hiruk pikuk skenario Tuhan. Skenario yang aku dan mereka mainkan sejak jasad bersimpuh di bumi ini. “Sekarang Aku bukan anak kecil lagi, yang tidak tahu apa apa”. Ku coba membenarkan keadaan ku. Dulu waktu aku masih berumur 4 tahun, mendengar mereka, orang tua ku beradu mulut, bahkan memecahkan kaca lemari dan piring pun aku hanya bisa diam.
Aku merengek dengan isak tangis yang tak senada. Mendengar dan melihat semua itu, tapi tangisan ku tak pernah bermakna apa-apa. Karena aku tidak pernah tahu kenapa aku harus menangis. Tapi sekarang semuanya telah berubah, di umurku yang sekarang sudah menginjak 15 tahun, segalanya terlihat jelas,  percecokan yang dulu dianggap adalah sebuah dialog, pecahan-pecahan piring yang dianggpa sebagai iramanya.
“Ah....!!!!! kenapa mereka dipersatukan dengan begitu banyak perbedaan?” Kata ku ketus.
Di perkampungan itu pula lembaran kehidupan ku bermuara. Orang orang biasa kesana kalo lagi liburan tiba, pemandangan pantai yang biru, pulau-pulau kecil yang menancap kuat di dalam pantainya seakan menjadi penghias ke indahan alam desa ku. Disana, para wisata lokal maupun asing dimanjakan oleh warna warni keindahan dunia yang tidah pernah ada di belahan bumi manapun. Itulah kata mereka, tentang tanah kelahiranku, Gua Cina, di pinggir selatan kota malang. Yang aku anggap biasa saja. Dan bahkan membawa ku ke alam yang sulit ku ceritakan.
Suatu hari, yang aku juga tidak bisa ku rasionalkan, gubuk yang biasanya ramai oleh kegaduhan mereka yang biasanya beradu mulut dan bahkan saling melempar piring-piring dan apapun yang ada didepan mereka, Pagi ini ibu dan ayah terlihat berbeda,  ”hahahaha...” suara tawa terdengar jelas di telinga ku. “Hahahahahahahaha,” suara tawa mereka semakin keras dan jelas masuk ke kedalam gendang telinga ku.
“Ada apa ini?”
“Permainan apa lagi ini? Fikiran dan mental ku penuh dengan sesakan bualan-bualan mereka yang setiap detik mengisi celah-celah kosong pikiran ku, yang seakan terpatri kuat dalam ingatan,” bisik ku dalam hati. Tiba-tiba suara candaan itu berganti suara panggilan.
“Hitaf, ayo kesini,” suara ibu memanggilku, “i...iiii..........iyyyaa ibu”, suara ku terbata-bata, sambil mengusap muka, dan mengingat kembali mimpi yang... “Aarkhhhh..... sudah lah!, itu hanya mimpi”. Hitaf ayo merene o diluk,” untuk yang kedua kalinya ibu memanggil ku. “enggeh ibu, enggeh”, aku pun bergegas.
Suara tawa yang tadinya begitu menggelegar, tiba-tiba menghilang bak ditelan badai, suara candaan yang menghiasi rumah, yang sekian lama terbias oleh sepi pun hilang diterpa angin. “ayah, ibu, kalian dimana?” “tok..tok ...tok...assalamualaikum, hitaf, hitaf...ayo ndang budal, mumpung masih pagi”, suara itu memnyadarkan ku dalam lamunan pendek ku akan dimana ibu dan ayah berada.
“wa’alaukumussalam, iyaa Suga, aku beres-beres dulu ya!”
Aku  pun berangkat untuk mencari ikan  bersama sahabat karib ku, Suga adalah sahabat yang selalu ada, baik suka maupun duka. Dia jugalah yang mengajarkan ku untuk hidup. Hidup bernafaskan islam. Orang tuaku yang tak pandai dengan ilmu agama, membuatku ragu dan bimbang akan makna Tuhan yang sesungguhnya.
“Suga, ayo turunkan jaringnya”
 “siap bos”
 “hahahahahahaa.......” aku tertawa sambil membantu Suga menurunkan jaring itu. Aku bertanya pada suga,
“Menurutmu, hari ini nasib akan berpihak pada kita apa ngak?”
 “Maksudmu?”
“Ah dasar kau sialan, itu aja engak paham,”
 “Maksudku, apa Tuhan akan memberikan ikan yang banyak hari ini sehingga kita akan menjadi kaya,”
Dengan nada lirih dia menjawab, “rezki, kematian dan jodoh itu sudah  ditentukan sama yang di atas bro, sambil menunjuk jari telunjuknya ke atas, jadi kamu ngk usah khawatir. Yang penting cara kita mensyukuri apa yang diberikan Tuhan untuk kita”. pertanyaan yang terucap dari mulut ku setiap hari ketika aku mejaring ikan bersamanya. Dan jawaban yang sama pula dia berikan untuk pertanyaan itu. Seperti halnya  pelakon drama, yang menghafalkan naskah dramannya. Seperi itulah jawabannya, tak kurang suatu apapun, entah itu titik maupun komanya.
“Horeeeee, horeeeeee.........!!!” teriak para penangkap ikan lainnya, “kayaknya mereka mendapatkan banyak ikan hari ini,” ucapku pada Suga, “iya kayaknya!!,” tuhan hari ini rupanya lebih berpihak pada mereka dari pada kita, bukan begitu bro, itu sudah rezkinya mereka, mungkin mereka lagi butuh itu”, ujar Suga, meyakinkan.
“Sudah, sudah angkat jaringnya, jangan ceramah disini,”
 “Noh! Ke masjid kalo mau berkhutbah, hahahahaha” ketawaku sinis.
 Sambil mengangkat jaringnya, lagi-lagi hasil yang kami dapat masih sama seperti hari-hari kemarin, yang hanya cukup untuk keperluan makan saja.
Hari semakin sore, kami pun pulang. Sesampainya dirumah, aku tak melihat seorang pun, “kemana ayah dan ibu pergi” tanyaku dalam hati. “Paling mereka ke kota, ke rumah bude.” Aku pun bersih-bersih dan siap siap sholat isya ke musholah.
Sepulang dari musholah, ku duduk termenung di teras gubuk. Malam ini tampak murka, menyembunyikan kebahagian bintang-bintang dan bulan pun hanya bisa tersipu. Suara nyanyain jengkrik menambah  keheningan malam pantai Gua Cina. Dan aku sendirian hanya berteman sepi. Aku pun berteriak “Hei.....!!!!!!” teriak ku, sambil menengadahkan mata ke atas singgasana Tuhan. Mencari celah diantara awan hitam, dengan satu harapan jelas, mendapati dimana singgasana itu bertempat. Aku hanya ingin memastikan apakah yang selama ini ku yakini merupakan suatu kebenaran atau hanya ketakutan akan siksaan yang telah ditanam kuat dalam hati semua manusia oleh para pemuka agama, termasuk sahabat karib ku, Suga?

            “Aaaaaaah....!!!”  aku merengek, aku memberontak, sambil membungkus kepala ku dengan kedua tangan ku, "tidak, ini tidak boleh ada dalam benak mu, yang harus kamu lakukan adalah percaya tanpa harus bertanya kenapa dan bagaimana" ujar si putih, si hitam tak mau kalah," lalu, apakah kamu mau mepercayai sesuatu yang tidak jelas keberadaannya, yang harus kamu lakukan sekarang adalah mencari tahu, bukan duduk termenung dan menerima sebuah keyakinan nenek moyang mu? itu bukan keyakinan sejati namanya tapi itu adalah sebuah keyakinan yang tak berdasar". aku bingungan.
Malam pun semakin larut, aku masih duduk termenung dan kembali ku fikirkan perkataan si hitam. Tiba-tiba saya tersadar dari lamunan panjangku dan bangkit dari tempat duduk ku.
"Si hitam benar, saya harus mencari tahu landasan dari apa yang telah saya yakini selama ini, yang tentunya bersumber dari yang hak. saya tidak mau amalan-amalan yang dikerjakan tanpa berlandas dan nantinya dibilang beragama islam karena dilahirkan dari rahim seorang ibu yang beragama islam– meskipun ayah dan ibu beragama keturunan, toh dengan mengetahui semuanya akan menambah sempurna amalan ku".
"Heiiiiii, KAU, ada apa dengan dirimu, kamu ngak takut akan laknat TUHAN MU, mencari kebenaran tentang tuhan mu adalah suatu kenistaan". Si putih mencoba merusak fikiran ku yang sudah mulai terarah, tapi si hitam tak mau diam saja, “Sobat ku,
“Fikirkanlah....fikirkanlah.....”
“Dan ikuti kata hati nuranimu, biarkan dia menuntun mu.”
“Allahu akbar, Allaaaahu Akbar........” aku pun terbangun dari lamunan panjang ku dengan kagetnya, mendengar suara adzan menghiasi kampung kecil ku. Suara adzan subuh nan merdu yang di lantunkan oleh Suga, menambah keindahan surga kecil ku, Gua Cina, malang selatan.
 Otak ku masih perputar-putar mencari jawaban, “apakah tadi saya bermimpi?” ah......aku mungkin kecapean sampai-sampai didalam lamunan panjang mengantarkan saya ke mimpi itu. ". “aneh, sungguh aneh, tapi sangat nyata, apakah itu semua hanya mimpi?” Tanya ku, dikesendirian ku.
Tak mau larut terlalu dalam tentang pertanyaan itu, saya pun bergegas ke musholah dekat gubuk ku karena suara iqomah sudah terdengar.
Sekembali ku dari musholah, kembali terdengar suara candaan mereka, yang terdengar jelas hanyalah tawa, “hahahahahah,.....”, ayah........,ibu.........,” panggil ku dari luar sambil berlari-lari kecil masuk rumah, “kalian kemana saja?” ku peluk erat-erat mereka, layaknya anak yang tidak bertemu dengan orang tuanya selama bertahun tahun. Tak bisa ku tahan air mata ini, mengalir deras seperi hujan yang membasahi musim kemarau panjang. Mungkin seperti itulah perasaan tumbuhan ketika air hujan mengguyur mereka.
Tiba-tiba ada yang memanggil,
“Hitaf.....Hitaf....,koen ndi? Koen gak melu nggole’ iwak a?”
“Koen budal o dise”. Teriak ku dari dalam gubuk kecil ku “yo wes, ngko’ koen nyusulo yo taf..!”.
Beberapa jam berada dipelukan ayah dan ibu, aku pun menyusul Suga. Hari ini cuaca terlihat tak bersahabat, nampak kemurungan di wajahnya, sesekali petir menyambar dengan keras, awan tebal menghalangi pancaran megah sinar mentari. Perasaan ku tak tenang, dalam hati ku berdoa, “ya....  Tuhan semoga Suga tidak  menjaring ditengah laut”.
Aku berlari dan terus berlari, suara guntur seakan senada dengan hentakan kaki ku. Hiruk-pikuk jalan setapak menuju pantai Gua China itu seakan tau keadaan hati ku. Sesekali aku bertanya  para penangkap ikan lainnya yang berjalan balik arah dengan ku,
“pak...pak...bapak lihat Suga”, “tadi saya lihat dia menjaring ikan ditempat biasa nak, tadi saya udah larang dia untuk menjaring, tapi dia nekat”. “Suga.....Suga............Sugaaaaaaaaaaaaaaaaaa.....sahabat ku, engkau dimana?” angin laut begitu kuat hari ini, jarak pandang pun terhalang oleh badai, aku tersungkur lemas diatas pasir.  “tidaaaaak...... ini salah ku, Suga sahabat ku, maafkan aku.”  
Aku terbangun, ku buka mata ku, terlihat atap gubuk ku, “Suga....Suga.. mana Suga..? ayah, ibu! mana sahabat ku? kenapa kalian diam saja”,  “maafkan kami nak”, kata penangkap ikan lainnya, teman mu sudah dipanggil Tuhan, Tuhan lebih menyayanginya”, “tidak.....tidak.... pak ! ini tidak adil!, tuhan benar benar tidak adil pada ku”. aku memberontak. Lalu ku panggi ayah dan ibu ku.
“Ayah.... ibu....mana ayah dan ibu ku pak? Kenapa kalian diam, kenapa kalian menangis”, tanya ku, lalu salah seorang penangkap ikan lainnya menjawab, “ayah dan ibu mu telah lama meninggal nak”.
“ hahahahahahahaha.......,”aku tertawa.
“bagaimana mungkin? Aku tadi pagi baru bertemu dan mengobrol dengan mereka? Permainan apalagi ini?”
Semenjak kejadian itu, aku menjadi tak berdaya, orang yang mengajariku untuk hidup kini telah pergi ke dunia yang tak bisa ku ceritakan. “Ibu dan ayah pun tak juga balik. Aku tak percaya kalo ayah dan ibu meninggal, tidak masuk akal”, paksa ku. Lalu ku putuskan untuk ke kota malang, kota dimana bude’ ku tinggal, karena ayah dan ibu biasanya kesana.
“Assalamualaikum, bude’, bude’,” terdengar suara dari dalam rumah, “waalaikumussalam, eh.. Hitaf! Mari..mari masuk,” ajak budek ku.  Aku masuk dan tanpa pikir panjang, “bude’ ibu dan ayah mana?” mendengar pertanyaan ku itu, mata bude berkaca-kaca, lalu dia duduk, “nak,” kata bude’ ku, “duduklah dulu”, aku kembali bertanya, “ayah dan ibu mana bude’?” dengan nada memaksa. Bude’ tiba-tiba menangis sambil menghela nafas, “ayah dan ibu mu telah tiada nak sejak kamu berumur 10 tahun”.  “Bagaimana mungkin bude’?”,  “sekarang aku berumur 15 tahun, dan sejak itu pula ayah dan ibu masih ada dirumah bersama ku, hingga kejadian yang mengerikan kemarin. Walaupun semenjak itu ayah dan ibu tidak bertengkar seperti biasanya”.
Bude’ pun bertanya karena penasaran, “kejadian mengerikan apa Taf? Coba kau ceritakan kepada bude, sambil merangkul Hitaf,” Hitaf pun berkisah,...Lalu, bude’ berkata, “ayah dan ibu mu juga raib oleh ombak itu nak, tepat 5 tahun lalu.” Tanpa menunggu bude’ selesai berkisah aku langsung memotong, “lalu kenapa ayah dan ibu masih ada dirumah, bude’? tegas ku. aku berlari keluar rumah bude’ dan balik ke gubuk kecil ku dengan satu harapan, ayah dan ibu ada di gubuk kami.
Dalam perjalanan ke Gua Cina aku hanya bisa melamun, memikirkan semua skenario Tuhan. Lalu, si hitam tiba-tiba muncul, “tak usah kau melamun, berdzikirlah kepada Tuhanmu, iklaskan kepergian teman dan orang tuamu,” “hahahaha, tawa licik si putih, “Entengnya dia bilang begitu, setelah apa yang semua Tuhan lakukan kepadamu, sampailah gubuk dengan cepat teman ku, ayah dan ibumu menunggu mu di gubuk” aku terbangun dari lamunan, “kau benar, ini semua salah Tuhan. Kaulah teman ku sekarang. Bukan si hitam. Dan tidak juga Tuhannya.
“Hei, si hitam, enyahlah dari kehidupanku”
 “Sekarang aku tidak butuh Tuhan mu. Pergilah kau, pergilah dan jangan pernah kembali. Hahahahaha, aku bebas, aku bebas dari aturan Tuhan mu.” Tanpa sadar, orang-orang di bis itu melihat ke arah ku. Mungkin berfikir bahwa aku sudah gila,  Aku tertawa kecil terkikik-kiki!
 “Tidak.....jangan engkau lakukan itu sahabat ku”     
“Engkau harus ku nasehati, agar berfikir ulang,” kata si Hitam.
“Huissssss, diam kau, pembual sialan, karena skenario Tuhanmu semua ini terjadi, Tuhan mu mengahancurkan kepercayaan ku, kepercayaan yang ditanam kuat oleh sahabat karib ku. Tapi apa balasan Tuhan? Ohhhhh.....! Sakitnya tuh disini!” sambil ku menunjuk dada ku. 
“Usir dia, usir dia dari kehidupanmu” bisik si putih.
“Enyahlah, kau pembual, enyahlah kau, enyahlaaahhh” teriak ku, sampai suara ku parau.
Dengan berat hati, si Hitam pergi dan lenyap dari pikiran si Hitaf atas perintah Tuhannya. Dan si Putih tertawa bahagia.
            “Aku menang, Aku menang”
Bis pun berhenti, aku langsung berlari, sambil memanggil-manggil “ ayah,.... ibu... anak mu pulang,” dan orang-orang disekitar ku memandangiku dengan keheranan, tapi tak ku hiraukan, “ayah, ibu, kalian dimana? “Hitaf, Hitaf.... kami disini, mari ! peluklah kami, kami rindu akan hangatnya pelukanmu” Begitulah skenario yang dimainkan si putih sehingga Hitaf pun terjerat.











0 comments: