Belum Ada Perubahan

22:53 Fatihurrahman 0 Comments

Aku tetap sama seperti dulu. Ketika aku mengenal apa arti hidup. Hidup tidak ada artinya jika harus terus  berkisah tentang masa-masa kelam. Cukuplah masa itu menjadi warna dalam hidup. Cukup dirasa tanpa harus disesali. Cukuplah diingat tanpa harus diratapi. Aku masih diriku yang dulu. Tanpa kurang suatu apapun. bahkan secara spikologi kognitif, aku tidak pernah berubah. Masih dengan penyakit yang sama. Meski penyakit ini tetap melekat, aku tetap semangat untuk meraih mimpi-mimpi ku. Aku masih tetap semangat dalam merubah dan mengurangi penyakit ini. keyakinanku begitu kuat. Akan ku taklukan penyakit ini suatu hari nanti.
Terkadang diriku tersiksa dengan keadaan ini, karena ketika melihat orang lain begitu mudahnya berekspersi lepas dipanggung sandiwara ini. Sedangkan aku yang hanya bisa berkarya dibalik layar. Penyakit ini begitu sayang padaku. Sehingga dia tetap lengket dan bahkan tidak berkurang sedikitpun sejak aku dilahirkan. Mungkin ini semua karena aku tidak pernah dibiasakan oleh ayah dan ibu untuk berlakon. Sehingga sampai sekarang masih sulit merubah semua itu.
Dengan penyakit ini, seakan mempersulit aku untuk meraih cita-cita ku berlayar ke tanah yang berbeda dari tempat kelahiran ku dan merasakan bagaimana rasanya menjadi minoritas yang sesungguhnya. Terbang dan bersinar dikejauhan sana, lebih jauh dari tempat di mana aku menempuh pendidikan Undergraduate ku saat ini. Itulah cita-cita ku sejak aku menempuh kuliah di sebuah universitas islam di kota malang. Karena doktrin-doktin yang diberikan oleh dosen-dosen yang mengajariku tentang pentingnya perjuang dan kerja keras untuk meraih cita-cita.
 Satu hal yang terkadang membuat ku merasa minder, dan bahkan merasa bahwa tidak mungkin ku raih cita itu, satu hal itu tidak lain adalah Penyakit ini, adalah saingan dan tantangan terberat dalam hidupku. Ribuan cara telah ku coba, tetapi belum ada perubahan yang menonjol dan bahkan ketika berkali-kali mencoba namun hasilnya tetap sama, di situ terkadang aku merasa sedih.
Cita-cita menginjak tanah yang beras putih itu, nampaknya menjadi angan bagi semua mahasiswa jurusan bahasa inggris, yang tentunya kuliah gratis. Keinginan ku semakin kuat. Karena hanya dengan pergi ke sana aku akan bisa membantu kedua orang tua ku beserta adik-adik ku sekolah. Ayah dan ibu lah sebenarnya menjadi sumber kekuatan bagi ku di sini. Mereka di sana bekerja. Bukan di gedung-gedung, bukan pula di tempat teduh. Tetapi mereka bekerja di tempat yang hanya beratapkan langit, yang setiap saat menyanyat kulit mereka setiap harinya. Itulah kenapa di dalam kelas, ku coba untuk aktif bertanya, meski terkadang pertanyaan yang terlontar dari mulut ku itu, tidak dimengerti oleh mereka dan bahkan sering kali aku dianggap remeh dan bahkan ditertawakan. Tetapi itu semua tidak pernah membuat ku lelah. Apalagi putus asa. Justru itu semua menjadi peluangku untuk menambah motivasi diri.
Dosen wali ku tahu betul bagaimana penyakit itu nampak jelas di dalam diri ini, sebab dulu, ketika masih semester 1. Beliaulah yang menguji aku. Ketika itu, aku mengikuti ujian remedi IEC (intensive english course). Saat itu beliau menjadi penguji speaking. Pada saat ujian itu, seperti biasa penyakit yang sangat sayang pada ku ini selalu saja menemani hari-hari ku di perkuliahan. sejak saat itulah dosen wali ini tahu bahwa aku memiliki penyakit yang mungkin orang lain juga mengidapnya, tetapi tidak separah yang aku miliki.
Kemarin, pada bulan mei, 2015. Dosen wali ku yang masih melanjutkan gelar Doctonya di australai dengan mendapatkan beasiswa tersebut, yang kebetulan beliau sedang melakukan penelitian di indonesia, diundang oleh SEMA fakultas HUMANIORA untuk mengisi seminar penelitian mahasiswa. Dan pada saat itu aku juga menghadiri acara tersebut. biasalah! Udah semester tua. Pada saat itu, beliau tanya pendapat beberapa audience tentang apa itu research? Dan ternyata aku ditunjuk oleh beliau. Sebelum dipanggil saja penyakit ku sudah kambuh, apalagi sudah dipanggil namaku. Mau tidak mau aku harus menjawabnya. Namun tidak hanya menjawabnya, aku malah disuruh maju didepan dan harus menjawabnya di depan orang banyak. OMG...!!!! tidak tahu lagi harus ngomong apa? Rasanya suaraku tertahan dan berat sekali untuk keluar.
Setelah itu, beliau bilang, “kalian tahu, kenapa  saya  menyuruh fatih maju?”saya hanya ingin tahu apa penyakitnya masih sama atau sudah berkurang.”dalam hati ku betkata, subhanallah, sebegitu pedulikah dosen wali ku ini? Andai semua dosen seperti beliau.
Itulah bedanya aku dengan mahasiswa lainnya. Jika mereka tidak memiliki penyakit seperti aku ini. Maka bersyukurlah dan manfaatkanlah itu. sebab aku tahu bagaimana rasanya memiliki penyakit seperti ini. Aku harus berjuang keras untuk menaklukan penyakitku. Aku harus terus melawan meski terkadang aku rapuh karena lelah. Inilah aku yang belum berubah, sejak kemarin hingga sekarang. Dan perjuanganku adalah melelehkan penyakit ini di masa depan. 
 (Salam perjuangan: Fatih T.N. Coretan 20 Mei 2015)


0 comments: