Belum Ada Perubahan
Aku
tetap sama seperti dulu. Ketika aku mengenal apa arti hidup. Hidup tidak ada
artinya jika harus terus berkisah
tentang masa-masa kelam. Cukuplah masa itu menjadi warna dalam hidup. Cukup
dirasa tanpa harus disesali. Cukuplah diingat tanpa harus diratapi. Aku masih
diriku yang dulu. Tanpa kurang suatu apapun. bahkan secara spikologi kognitif,
aku tidak pernah berubah. Masih dengan penyakit yang sama. Meski penyakit ini
tetap melekat, aku tetap semangat untuk meraih mimpi-mimpi ku. Aku masih tetap
semangat dalam merubah dan mengurangi penyakit ini. keyakinanku begitu kuat.
Akan ku taklukan penyakit ini suatu hari nanti.
Terkadang
diriku tersiksa dengan keadaan ini, karena ketika melihat orang lain begitu mudahnya
berekspersi lepas dipanggung sandiwara ini. Sedangkan aku yang hanya bisa
berkarya dibalik layar. Penyakit ini begitu sayang padaku. Sehingga dia tetap
lengket dan bahkan tidak berkurang sedikitpun sejak aku dilahirkan. Mungkin ini
semua karena aku tidak pernah dibiasakan oleh ayah dan ibu untuk berlakon.
Sehingga sampai sekarang masih sulit merubah semua itu.
Dengan
penyakit ini, seakan mempersulit aku untuk meraih cita-cita ku berlayar ke tanah
yang berbeda dari tempat kelahiran ku dan merasakan bagaimana rasanya menjadi
minoritas yang sesungguhnya. Terbang dan bersinar dikejauhan sana, lebih jauh
dari tempat di mana aku menempuh pendidikan Undergraduate ku saat ini. Itulah
cita-cita ku sejak aku menempuh kuliah di sebuah universitas islam di kota
malang. Karena doktrin-doktin yang diberikan oleh dosen-dosen yang mengajariku
tentang pentingnya perjuang dan kerja keras untuk meraih cita-cita.
Satu hal yang terkadang membuat ku merasa
minder, dan bahkan merasa bahwa tidak mungkin ku raih cita itu, satu hal itu
tidak lain adalah Penyakit ini, adalah saingan dan tantangan terberat dalam
hidupku. Ribuan cara telah ku coba, tetapi belum ada perubahan yang menonjol
dan bahkan ketika berkali-kali mencoba namun hasilnya tetap sama, di situ
terkadang aku merasa sedih.
Cita-cita
menginjak tanah yang beras putih itu, nampaknya menjadi angan bagi semua
mahasiswa jurusan bahasa inggris, yang tentunya kuliah gratis. Keinginan ku
semakin kuat. Karena hanya dengan pergi ke sana aku akan bisa membantu kedua
orang tua ku beserta adik-adik ku sekolah. Ayah dan ibu lah sebenarnya menjadi
sumber kekuatan bagi ku di sini. Mereka di sana bekerja. Bukan di
gedung-gedung, bukan pula di tempat teduh. Tetapi mereka bekerja di tempat yang
hanya beratapkan langit, yang setiap saat menyanyat kulit mereka setiap
harinya. Itulah kenapa di dalam kelas, ku coba untuk aktif bertanya, meski
terkadang pertanyaan yang terlontar dari mulut ku itu, tidak dimengerti oleh
mereka dan bahkan sering kali aku dianggap remeh dan bahkan ditertawakan.
Tetapi itu semua tidak pernah membuat ku lelah. Apalagi putus asa. Justru itu
semua menjadi peluangku untuk menambah motivasi diri.
Dosen
wali ku tahu betul bagaimana penyakit itu nampak jelas di dalam diri ini, sebab
dulu, ketika masih semester 1. Beliaulah yang menguji aku. Ketika itu, aku
mengikuti ujian remedi IEC (intensive english course). Saat itu beliau menjadi
penguji speaking. Pada saat ujian itu, seperti biasa penyakit yang sangat
sayang pada ku ini selalu saja menemani hari-hari ku di perkuliahan. sejak saat
itulah dosen wali ini tahu bahwa aku memiliki penyakit yang mungkin orang lain
juga mengidapnya, tetapi tidak separah yang aku miliki.
Kemarin,
pada bulan mei, 2015. Dosen wali ku yang masih melanjutkan gelar Doctonya di
australai dengan mendapatkan beasiswa tersebut, yang kebetulan beliau sedang
melakukan penelitian di indonesia, diundang oleh SEMA fakultas HUMANIORA untuk
mengisi seminar penelitian mahasiswa. Dan pada saat itu aku juga menghadiri
acara tersebut. biasalah! Udah semester tua. Pada saat itu, beliau tanya pendapat
beberapa audience tentang apa itu research? Dan ternyata aku ditunjuk oleh
beliau. Sebelum dipanggil saja penyakit ku sudah kambuh, apalagi sudah
dipanggil namaku. Mau tidak mau aku harus menjawabnya. Namun tidak hanya
menjawabnya, aku malah disuruh maju didepan dan harus menjawabnya di depan
orang banyak. OMG...!!!! tidak tahu lagi harus ngomong apa? Rasanya suaraku
tertahan dan berat sekali untuk keluar.
Setelah
itu, beliau bilang, “kalian tahu, kenapa
saya menyuruh fatih maju?”saya
hanya ingin tahu apa penyakitnya masih sama atau sudah berkurang.”dalam hati ku
betkata, subhanallah, sebegitu pedulikah dosen wali ku ini? Andai semua dosen
seperti beliau.
Itulah
bedanya aku dengan mahasiswa lainnya. Jika mereka tidak memiliki penyakit
seperti aku ini. Maka bersyukurlah dan manfaatkanlah itu. sebab aku tahu
bagaimana rasanya memiliki penyakit seperti ini. Aku harus berjuang keras untuk
menaklukan penyakitku. Aku harus terus melawan meski terkadang aku rapuh karena
lelah. Inilah aku yang belum berubah, sejak kemarin hingga sekarang. Dan perjuanganku
adalah melelehkan penyakit ini di masa depan.
(Salam perjuangan: Fatih T.N. Coretan 20 Mei 2015)
0 comments: