contoh makalah bahasa indonesia tentang Kepunahan Bahasa Lokal Di Indonesia Di Era Globalisasi




Kepunahan Bahasa Lokal Di Indonesia Di Era Globalisasi :
Jawa Krama Inggil Diambang Kepunahan
Oleh:  Fatihurrahman

1.     PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia merupakan mahkluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai mahkluk sosial, manusia perlu berinteraksi dengan manusia lain. Dalam berinteraksi, manusia memerlukan bahasa untuk menyampaikan pikiran dan pesan yang ingin disampaikan kepada lawan bicaranya. Menurut Kridalaksana (1982), bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh suatu kelompok masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Dari pendapat diatas dapatlah disimpulkan bahawa tanpa bahasa manusia akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi satu sama lain. Dengan demikian, bahasa merupakan unsur terpenting dalam kehidupan manusia.
Di dunia ini jumlah bahasa yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi  mencapai 6912 dan 700 dari 6912 bahasa itu  ada di Indonesia. Data yang sama juga didapat dari Pusat Bahasa (dalam Darmojuwono, 2011) menyatakan bahwa jumlah bahasa daerah yang hidup dan berkembang di Indonesia lebih dari 700 bahasa daerah. Bahkan, didalam satu suku terdapat perbedaan bahasa, baik dari aspek penggunaan kosa kata maupun dari aspek dialek misalnya, dalam suku Jawa terdapat perbedaan antara bahasa Jawa di daerah Yogyakarta dengan bahasa Jawa di daerah Surabaya bahkan Surbaya dengan Malang pun memiliki perbedaan meski tidak sesignifikan dengan Yogyakarta. Hal ini bisa saja disebabkan oleh ke dua aspek di atas. Seperti yang dikatakan Chaer (2010) dalam bukunya yang berjudul sociolinguistik: perkenalan awal. Dia mengatakan bahwa, hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi, ragam atau dialek dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu di masyarakat.
Bahasa Jawa merupakan bahasa yang digunakan oleh suku Jawa untuk berkomunikasi didalam kehidupan masyarkat Jawa. Oleh karena itu, bahasa Jawa merupakan  first language atau mother thouge atau dalam bahasa Indonesia “bahasa Ibu”. Menurut Masinambouw (dalam Crista, 2012:2), yang mengatakan bahasa sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia didalam masyarakat, sehingga di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku didalam budaya itu. Adanya berbagai macam kelompok masyarakat menyebabkan timbulnya ragam  penggunaan bahasa Jawa sesuai dengan kondisi sosial– tua-muda, kaya-miskin, si penutur. Oleh karena itu, bahasa Jawa memiliki banyak ragam, serta penggunaannya pun disesuaikan dengan strata sosial seseorang seperti jenis Jawa Ngoko, Krama– baik Inggil maupun Madya.
Banyaknya jenis bahasa Jawa menjadi kekuatan tersediri bagi para peneliti, untuk mencari tahu jenis bahasa Jawa mana– Ngoko, krama Inggil, Krama Halus dan Krama Madya, yang terancam tersisih di era globalisasi ini. Sebagai peneliti, saya yakin bahwa di antara jenis-jenis bahasa tersebut ada yang menjadi bahasa minoritas. Di era modern ini, beberapa orang berpendapat bahwa, bahasa Indonesia berada dalam bahaya karena globalisasi, dalam kasus ini, kita tahu bahwa bahasa yang berada dalam bahaya ketika speakers atau penuturnya yang kurang dari 50 persen. Sebuah definisi terkait minority language, atau bahasa minoritas yang diberikan oleh PBB (dalam Chaklader: 1981):
“The term minority includes only those non dominant groups in a population which possess and wish to preserve stable, ethnic, religious or linguistic traditions or characteristics markedly different from those of the rest of the population (UN Yearbook for Human Rights 1950:490; quoted in Chaklader 1981:16).”
Istilah minoritas hanya mencakup kelompok-kelompok non dominan dalam populasi yang memiliki dan ingin melestarikan stabilitas, etnis, agama atau bahasa, tradisi atau karakteristik nyata yang berbeda dengan orang-orang dari seluruh penduduk (UN Yearbook for Human Rights 1950:490; dikutip dalam Chaklader 1981:16).” 
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa dikatakan minoritas ketika suatu etnis, bahasa dan agama memiliki sedikit jumlah penutur ataupun pengikut didalam suatu golongan masyarakat. Grimes (dalam Ibrahim 2008, 10) mengatakan sebab utama kepunahan bahasa-bahasa adalah karena para orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anaknya dan tidak lagi secara aktif menggunakannya di rumah dalam berbagai ranah komunikasi. Kami setuju dengan pendapat di atas, jika segolongan orang ini mati sebelum mereka mengajarkan bahasa kepada para penerusnya maka mati pula lah bahasa tersebut dan peradabannya akan ikut lenyap bersamaan dengan hilangnya bahasa tersebut.
Dari penelitian yang peneliti lakukan secara oral atau wawancara menemukan bahwa dari beberapa jenis bahasa Jawa yang disebutkan di atas, bahasa Jawa yang sedang dalam ambang kepunahan adalah jenis Krama Inggil, yang mana hanya digunakan di kalangan para orang tua dan sebagian kecil anak muda. Dan juga tidak semua orang tua juga paham terhadap bahasa ini. UNESCO mengatakan:
"When a language dies, the world loses valuable cultural heritage - a great deal of the legends, poems and the knowledge gathered by generations is simply lost. Ketika sebuah bahasa punah, dunia kehilangan warisan yang sangat berharga – sejumlah besar legenda, puisi, dan pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi akan ikut punah.”
Generasi muda suku Jawa sudah sepantasnya melestarikan bahasa Jawa demi kelangsungan dan tetap terjaganya bahasa Jawa di pulau Jawa khususnya bahasa Jawa Krama Inggil. Apalagi, bahasa Jawa merupakan bahasa budi yang menyiratkan budi pekerti luhur, atau merupakan cerminan dari tata krama dan tata krama berbahasa menunjukkan budi pekerti pemakainya. Itulah kenapa pentingnnya mengetahui kedudukan bahasa mengembangkan peradaban manusia. Oleh karena itu, dengan mengetahui kedaan bahasa di era yang semakin modern ini sangat lah penting. Disamping itu, penanaman nilai-nilai akan pentingnya menjaga  dan melestarikan bahasa, dalam  hal ini bahasa Jawa Krama  Inggil menjadi pekerjaan rumah bagi semua orang, terkhususnya para generasi muda. Penjelasan lebih rinci akan dijelaskan di pembahasan.  
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan diteliti dari penelitian ini adalah yang tercangkup dalam rumusan masalah umum dan khusus yaitu:
          1.2.1. Rumusan masalah umum
          Rumusan masalah umum dalam makalah ini yaitu “bagaimana pengaruh globalisasi terhadap eksistensi dan kepunahan bahasa lokal di indonesia?”
            1.2.2. Rumusan masalah khusus
                     Rumusan khusus dari makalah ini adalah:
   1. Bagaimanakah tanggapan masyarakat jawa terhadap keberadaan Bahasa Jawa      Krama Inggil Di Era Globalisasi?
            2.   Apakah ada hubungan antara punahnya bahasa lokal dengan Era Globalisasi?
3. Bagaimanakah cara untuk melestarikan Bahasa Jawa Krama Inggil dari ancaman kepunahan?

2.    PEMBAHASAN
2.1  Tanggapan Masyarakat Terhadap Keberadaan (eksistensi) Bahasa Jawa Di Era Globalisasi
Bahasa merupakan suatu sistem lambang bunyi yang sifatnya arbitrer, yang mana setiap orang bisa memberikan makna suatu kata sesuai dengan kesepakatan suatu kelompok masyarakat. Dengan kata lain, kata yang serupa akan memiliki makna yang berbeda dengan daerah lain. Hal ini sesuai dengan apa yang katakan oleh Kridalaksana (2001), dia mengatakan bahwa “bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer......”. Bahasa dalam hubunganya dengan masyarakat memiliki fungsi sebagai alat untuk berinteraksi sosial, karena sebagia manusia yang bersifat sosial sehingga kebutuhan bahasa adalah sangat penting. Ketika berbicara tentang bahasa maka tidak akan pernah dapat dipisahkan dari budaya seperti yang dikemukakan oleh Piaget (dalam Herman, 2009:1), seorang sarjana Perancis, menyebutkan bahwa budaya (pikiran) akan membentuk bahasa seseorang. Pendapat Piaget juga didukung oleh Chaer (2003:61) menyatakan, jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya.
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan suku Jawa dalam berkomunikasi. Dalam penggunaan bahasa Jawa harus memperhatikan tingkatan orang yang diajak bebicara, karena bahasa Jawa terdiri atas beberapa tingkatan, salah satunya adalah yaitu Krama Inggil, yang sekarang meluntur seiring dengan  perkembangan jaman. Dalam hal berkomunikasi, masyarakat Jawa mengenal banyak variasi bahasa. Berikut adalah tingkatan bahasa dan penggunaannya :
  1. ngoko lugu biasa digunakan untuk teman sebaya, pada yang lebih muda, pemimpin pada bawahan, dan berbicara sendiri.
  2. ngoko alus digunakan untuk menghormati mitra tutur yang sedang dibicarakan.
  3. krama inggil digunakan untuk orang yang lebih muda pada orang yang lebih tua,bawahan pada atasan.
  4. Krama inggil sungko digunakan oleh para orang tua yang faham dan biasanya oleh raja-raja, seperti di situasi formal keraton.
Itulah beberapa jenis bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa yang disesuaikan dengan tingkat strata sosialnya. Oleh karena itu, para pemuda harus bisa menguasai jenis bahasa tersebut untuk menjaga kesantunan ketika melakukan interaksi langsung dengan teman sebaya sampai orang yang lebih tua darinya.
Ketika penguasaan bahasa Krama Inggil buruk bahkan tidak bisa sama sekali, maka budaya rasa hormat dari yang muda ke yang tua akan lenyap. Lagi-lagi karena ketidak pahaman mereka terhadap bahasa sehingga memberikan danpak buruk terhadap budayanya, bahkan dampak itu bisa menghilangkan budaya yang telah dianut sejak nenek moyang suku Jawa.  Keberagaman jenis bahasa selalu merefleksikan tata nilai dan norma yang ada didalam tatanan masyarkat Jawa. Adanya perbedaan jenis bahasa Jawa menandakan adanya perbedaan strata sosial masyarakatnya. Akan sangat aneh ketika bahasa Jawa atau bahasa apapun hanya memiliki satu jenis bahasa, misalnya masyarakat Jawa hanya memiliki jenis bahasa seperti Jawa Krama. Satu jenis bahasa ini akan memberikan dampak yang sangat buruk terhadap tatanan kehidupan masyarakatnya. Komunikasi antar teman sebaya akan terlihat kaku dan lain sebagainya. Walaupun semakin banyak jenis bahasa Jawa memberikan dampak terhadap lahirnya bahasa mayoritas dan minoritas.
Di era yang semakin berkembang ini, dunia seakan menawarkan kehidupan yang serba canggih, penggunaan alat-alat modern sudah menembus ke pelosok-pelosok desa. Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Jawa seakan terlena akan kehidupan mewah itu. Walaupun sangat berpengaruh positif dari sisi ekonomi, politik dan kemudahan berinteraksi. Contoh kecilnya adalah, ada seorang mahasiswa yang terpaksa kuliah di luar negeri karena tuntutan pendidikan, fashback ke jaman dahulu, dimana orang-orang menggunakan telegram untuk  berkomunikasi atau saling tukar informasi, tapi sekarang, di abad ke 21 ini mereka seakan dimanjakan oleh produk akal manusia, yang disebut sebagai teknologi. Globalisasi disamping membawa pengaruh posotif, juga memberikan danpak negatif terhadap penggunaan bahasa Jawa. Sehingga tidak sedikit dari pengamat bahasa  mengatakan “wong Jawa ilang Jawane” yang artinya adalah orang Jawa sekarang telah luntur nilai kejawaannya.
Istilah “wong Jawa ilang Jawane ini merangkak dari fakta mirisnya pengguna Bahasa Jawa Krama, khususnya Krama Inggil. Banyaknya  para pemuda yang tidak paham terhadap penggunaan bahasa yang santun ini–Krama Inggil, membuat para lingust (ahli bahasa) dan para orang tua khawatir akan punahnya bahasa tersebut. Padahal, menciptakan suatu bahasa itu sangat sulit. Kekhawatiran mereka juga didukung oleh adanya lembaga PBB mengatakan bahwa, bahasa didunia ini setiap 2 minggu sekali ada  satu bahasa yang hilang. Hal ini semakin membuat miris para generasi tua dan para pemerhati budaya Jawa.
Di era globalisasi seperti saat ini, peran orang tua dalam menjaga eksistensi bahasa Jawa Krama Inggil sangat miris, kebanyak para orang tua menggunakan bahasa Ngoko, Krama Madya dan bahasa Indonesia padahal dalam kontek ini, Krama Inggil lah yang menjadi central fokus mereka. Ketidaktahuan mereka akan kepunahan bahasa Krama Inggil dan kurangnnya peran pemerintah dalam melakukan sosialisasi terhadap masyarakat menambah ketidaktahuan mereka. Sebenarnya, orang tua dan pemerintahlah yang harus menjadi agen pemberdaya dan pengamat bahasa. Bukan malah para pengamat bahasa yang mengatas namakan organisasi atau lembaga diluar pemerintahan. 
Dari puluhan ribu kosa kata bahasa Jawa Krama Inggil, hanya sedikit yang memasyarakat di semua lapisan masyarakat, seperti “enggeh, dalem” Itu hanya sepenggal kata yang bisa diucapkan oleh anak-anak jaman sekarang.
 Menurut hasil wawancara saya dengan salah seorang pemuda Jawa tulen­–asal Kediri, dia mengatakan bahwa, “penutur bahasa Jawa Krama Inggil merupan presentase paling sedikit diantara jenis bahasa Jawa yang lain dan  persentase itu tidak lebih dari 40 persen penuturnya.” Hal ini adalah fakta, saya masih ingat ketika melakukan kegiatan KKM (Kuliah Kerja Mahasiswa) tahun 2014, yang bertempat di Malang Selatan, di Kecamatan Pagak, desa Sumber Kerto selama kurang lebih satu bulan. Kami waktu itu dua belas anak, ketika kami melakukan silaturahmi dengan masyarakat disekitar desa Sumber Kerto, dimana masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil, kami mengalami kesulitan. Padahal sebelas dari dua belas anak itu adalah keturunan asli jawa. Dan hanya 2 diantara mereka yang paham dan bisa menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil dengan baik dan benar. Hal serupa pun terjadi di hampir semua kelompok yang tersebar di  berbagai pelosok kota dan kabupaten Malang pada saat itu mengeluhkan hal yang sama.
Contoh di atas merupakan  potret nyata bahwa bahasa Jawa Krama Inggil disamping minoritas juga  berada di ambang kepunahan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kebiasaan dan model pengajaran yang ada di rumah dan lingkungan sekitar juga. Orang tua yang tidak membiasakan anak-anaknya untuk menggunakan bahasa Krama Inggil, lebih suka dengan menggunakan Bahasa Jawa Ngoko atau Bahasa Indonesia. Hal ini terlihat sepele, namun dapat melumpuhan eksistensi Krama Inggil sebagai Bahasa khas tanah Jawa yang akan berpengaruh terhadap tingkah laku anak jaman sekarang.
2.2 Hubungan Antara Punahnya Bahasa Krama Inggil Dengan Era Globalisasi
Bahasa semakin berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Menurut Raharjo (dalam perkuliahan sociolinguistics), dia menjelaskan:
“Language is like human beings, it grows and it may die due to certain reason. Due to its grows hamonious with the developmet of the world,  no language which does not change, therefore the growth of a language is in line with the growth of social development, scientific and technological development (2015). Noam Chomsky juga sepakat bahwa kajian bahasa memiliki erat kaitan dengan budaya (1957).
Dari penjelasan di atas, saya dapat menarik kesimpulan bahwa ketika berbicara tentang bahasa, maka akan sangat sulit dipisahkan dengan era atau jaman di mana masyarakat penutur bahasa itu berada. Keberadaan bahasa menjadi sangat penting di era globalisasi. Bahasa berperan penting dalam pembangunan dan perkembangan teknologi. Dengan bahasa manusia berkarya. Dengan kata lain, peradaban manusia akan selalu berkaitan erat dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakatnya. Sehingga ada istilah yang mengatakan bahwa hilangnya atau punahnya suatu bahasa maka peradaban manusia akan ikut punah. Hal ini sejalan dengan, UNESCO mengatakan bahwa “ketika sebuah bahasa punah, dunia kehilangan warisan yang sangat berharga–sejumlah besar legenda, puisi, dan pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi akan ikut punah.”

2.3 Cara-Cara Untuk Melestarikan Bahasa Jawa Krama Inggil dari ancaman kepunahan
Ada beberapa cara yang harus dilakukan untuk mempertahankan eksistensi bahasa daerah dari kepunahan seperti, melakukan dokumentasi bahasa, membiasakan pemggunaan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Laksono, Dari berbagai pengalaman–selain melindungi penutur asli serta penyelenggaraan kongres dan seminar tentang kebahasaan, yang akhirnya diusulkan beberapa upaya revitalisasi serta pelestarian dan pengembangan bahasa daerah yakni dengan:
1.  melakukan pendokumentasian;
2. melakukan penggunaan bahasa/pembiasaan dalam berbicara (sekaligus menyimak)   pembiasaan dalam menulis (sekaligus membaca) dan pembelajaran yang komunikatif
3.  melakukan kreativitas dalam penggunaan bahasa
5.  menyumbangkan kosakata bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia
6.  melakukan penyusunan modul bahasa daerah supaya bahasa daerah dapat dipelajari oleh semua orang
Perlu diingat bahwa cara yang paling baik untuk mematikan sebuah bahasa adalah dengan mengajarkan bahasa lain dan membiasakannya. Oleh sebab itu, pemerintah daerah (pemprov/pemda) dan perguruan tinggi perlu mengurus dan mengatur pengembangan bahasa daerah, baik yang terdapat dalam masyarakat umum maupun yang berlaku di sekolah-sekolah. Pemberlakuan kurikulum juga harus diterapkan disekolah-sekolah formal, sebagai wadah pengajaran bahasa jawa krama inggil. Meskipun sejak tahun 2006 kurikulum pembelajaran bahasa jawa sudah diterapkan di hampir seluruh instansi formal, tapi belum terfokus pada bahasa Jawa Krama Inggil. Sehingga penerapan kurikulum ini masih belum efisien, sehingga yang harus diperhatikan adalah penerapan kurikulum yang sampai sekarang dikenal dengan istilah “Muatan Lokal”, dimana didalamnya akan diajarkan tentang kearifan lokal suatu daerah. Dalam hal ini pemerintah daerah Jawa menfokuskan pada pembelajaran bahasa Jawa dan itu hanya berlaku ditingkat SD dan SMP sedangka di tingkat SMU/MA/SMK kurikulum ini tidak diberlakukan. Oleh karena itu, pentingnya mengetahui bahasa minoritas dalam hal ini Bahasa Jawa Krama Inggil akan membantu masyarakatnya untuk mengetahui bagaimana cara-cara yang tepat untuk menjaga kelestarian Bahasa Jawa Krama Inggil dari ancama kepunahan di era globalisasi. Dengan kata lain, bahasa daerah merupakan aset dunia yang wajib dipertahankan dan juga memiliki banyak kearifan lokal yang layak dipahami anggota komunitasnya.

3. Kesimpulan
Kepunahan Bahasa Jawa Krama Inggil di era globalisasi seakan menjadi pekerjaan rumah (PR) baru bagi para generasi tua. Hadirnya globalisasi membawa dampak positif sekaligus memberi dampak negatif yang sangat besar terhadap kearifan lokal Bahasa Jawa Krama Inggil. Bagaimana tidak, para anak muda jaman sekarang, banyak yang tidak menguasai Bahasa Jawa Krama Inggil. Hal itu disebabkan karena era globalisasi seperti sekarang ini, seperti pemakaian bahasa gaul, bahasa asing, Jelas kondisi ini akan memperparah eksistensi Krama Inggil dan bahkan terancam punah dan menimbulkan tingkah laku seenak sendiri bagi kaum muda. Sehingga banyak para ahli mengatakan bahwa, “ wong jowo ilang jowone,” yang bersuber dari fakta akan ketidak pedulian masyarakatnya terhadap keberadaan Bahasa Krama Inggil.
Untuk melestarikan Bahasa Krama Inggil maka peran seluruh lapisan masyarakat Jawa– seperti para orang tua, pemerintah dan juga generasi muda, menjadi titik pusat untuk mempertahankan Bahasa Krama Inggil. Jika bahasa krama inggil punah maka satu peradaban akan ikut punah. Maka untuk Menjaga dan melestarikan bahasa Jawa Krama Inggil dari kepunahan tidaklah mudah. Maka dari itu, dengan mengetahui cara yang tepat untuk melestarikan bahasa tersebut dari ancaman kepunahan seperti mengajarkan dan membiasakan menggunakannya dalam kehidupan sehari merupakan cara terbaik untuk menjaga eksistensi bahasa Jawa Krama Inggil dari kematian.

4.   DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta

Chaer, A. & Agustina, L. 2010. Sociolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta

Chomsky, Noam. 1957. Syntactic Structures. The Hague: Mouton  Crista, Janny.
Crista, Janny. 2012. Bahasa dan Kebudayaan Sosiolinguistik. (Online),    (http://wwwkedaiilmujani.blogspot.com/2012/05/bahasa-dan-kebudayaasosiolinguistik.html), diakses pada tanggal 03 Mei 2015.
Darmojuwono, Setiawan. 2011. Jurnal Masyarakat Linguistik: Peran Unsur Etnopragmatis dalam Komunikasi Masyarakat Multikultural. ISSN: 0215-4846. (Elektronik Pdf), diakses pada tanggal 20 Mei 2015.
Herman, Rn. 2009. Antara Bahasa dan Budaya. (Online), (http://lidahtinta.worpress.com/2009/05/30/antara-bahasa-dan-budaya), diakses pada tanggal 05 mei 2015.

Ibrahim, Gamil. 2010. Bahasa Daerah Lampung Terancam Punah. (Online), (http://gamil-opinion.blogspot.com/2010/02/20), diakses pada tanggal  05 Mei 2015.

Kridalaksana, Harimurti.1982. Introduction to Word Formation and Word Classes. Jakarta: Universitas Indonesia
Laksono, Kisyani. Tanpa tahun. Pelestarian Dan Pengembangan Bahasa-Bahasa Daerah Di Indonesia. (Online), (http://laksono.blogspot.com/), diakses pada tanggal 20 maret 2015.

Pandharipande, R. V.2002. International Journal On Multicultural Societies: Minority Matters Issues in Minority Languages in India. Dalam Chaklader, S. (Eds). 1981. Linguistic Minority As a Cohesive Force In Indian Federal Process. 4 (2). (Elektronik Pdf), diakses pada tanggal 03 November 2014.
Unecso. 2012. Bahasa Daerah Indonesia Terancam Punah:  Penyebab Kepunahan Bahasa. (Online), (http://vinianisya.blogspot.com/2012/03/bahasa-daerah-di-indonesia-terancam.html), diakses pada tanggal 05 Mei 2015.

Arti Sahabat



                   Teman vs. Sahabat
Dalam hidup, agan-agan sekalian pasti pernah merasakan yang namanya pertemanan, bukan? Oh, tentu dong, karena agan-agan kan membutuhkan yang namanya teman. Nggak mungkin kan agan-agan semua hidup menyendiri tanpa seorang teman? Apalagi yang statusnya mahasiswa atau pelajar. Paling tidak dengan adanya teman bisa sedikit memberi warna yang berbeda di dalam hidup agan-agan semua. Oh iya ya! Bagaimana dengan seseorang yang lebih dari teman? Eitsss! Jangan mikir aneh-aneh dulu gan, hahaha, maksud ane sahabat. Kan biasanya ada tuh, seseorang yang selalu ada dalam setiap warna kehidupan agan, entah itu masa sulit, masa suka bahkan di kala duka. Pastikan agan memiliki sahabat di dalam setiap lingkungan hidup yang agan semua berada di dalamnya. Kenapa coba ane menyuruh agan semua untuk memastikan memiliki seorang sahabat? Mau tahu kan... hehehehe. Soalnya ane sendiri pernah merasakan yang namanya memiliki sahabat. Indah banget pokoknya.

Yang perlu agan semua ketahui nih! Teman dan sahabat itu sebuah kesamaan dalam perbedaan. Tahu kan maksud ane? Jangan bingung-bingung gan, ane kasih contekannya ya gan, menurut ane teman itu adalah mereka gan, yang hadirnya bagai petir dan hujan, datangnya musiman. Juga kayak jelangkung, datangnya tak diundang pulangnya tak diantar. Jadi agan itu harus smart ya! Jangan sampai mereka yang agan anggap sebaagai sahabat, itu menggap agan hanya sebagai teman. lalu, sahabat itu apa? Sahabat itu seperti tangan dan mulut. Agan tahu kan apa maksud ane? Tangan itu kan ibarat nyawa bagi mulut, di saat lapar dengan sabarnya dia memberi. Bahkan ketika dunia ini tanpa secerik cahayapun, dia tetap bisa menyuapi agan. Nggak percaya? Coba aja agan matikan lampu, lalu masukan makanan ke dalam mulut. Setelah mencobanya, maka agan pasti tahu jawabannya.

Sahabat itu sulit didapat gan. semua dari kita pasti memiliki teman, tapi  tidak semua dari kita  bisa mendapatkan dan memiliki sahabat, contohnya ane gan. ane itu disetiap lingkungan hidup, pasti ada aja sahabatnya. Di kampung ane ada, di sekolahan ane ada, dan sekarang ane kuliah, juga ane memiliki sahabat. Bagi ane sahabat itu orang terdekat dalam hidup ane, saling berbagi suka dan duka. Saling tolong dan menolong dikala kesulitan menghimpit. Beda dengan teman, seperti yang ane katakan tadi gan, datangnya musiman. Saran ane nih gan, kalo belum punya sahabat, segera deh cari. Dan rasakan sensinya. Hehehe....!!!
Ane punya tips nih gan, bagaimana cara mendapatkan sahabat yang setia, karena tidak semua sahabat itu setia gan. Pertama, pastikan mereka menjadi teman agan dulu. Karena persahabatan yang baik itu diawali denga pertemanan. Fase pertemanan ini nih gan, yang akan menentukan apakah merekaa itu cocok dengan pribadi agan atau tidak. Fase ini akan berjalan cukup lama gan, jadi agan harus bersabar. Hehehe...yang namanya mencari sesuatu yang berarti itu butuh perjuangan gan. mencari sahabat itu seperti mencari pasangan hidup. Kalo salah-salah ya berujung perpisahan. Kedua, pastikan agan, memiliki kesamaan nasib dengan merekaa, karena persamaan nasib, itu akan menimbulkan rasa solidaritas yang tinggi. Perasaan senasib itulah yang nantinya akan menjadi akar dari persahabatan yang akan agan jalin. Ketiga, pastikan agan semua bisa memerima kekurang mereka, karena sahabat itu adalah mereka yang bisa menerima kekurangan agan. Dan yang paling penting lagi,  agan harus tetap menjaga nama baik mereka. Intinya jangan jadi musush dalam selimut. Di depan baik di belakang malah ngomongin kejelekannya mereka. Dan yang terakhir adalah, teteplah saling memngingatkan dalam kebaikan agar persahaabatan yang agan jalin tetap diridhoi oleh Sang penguasa bumi dan jagat raya ini.

Sebelum ane akhiri tulisan ini, ini ada nasehaat dari pakle, Imam Al Ghozali: “yang paling jauh dengan JAUH kita yaitu MASA LALU, yang paling DEKAT kita KEMATIAN, yang paling BERAT di dunia ini “AMANAH”, sedangkan yang paling RINGAN di dunia ini adalah “AMALAN”.....sampai bersua lagi agan-agan semua, selamat mencari teman rasa sahabaat ya, awas sahabat rasa teman selalu mengintai agan-agan semua. Hehehehe..Wassalam.. *Hitaf: edisi 6 juni 2015*

Belum Ada Perubahan

Aku tetap sama seperti dulu. Ketika aku mengenal apa arti hidup. Hidup tidak ada artinya jika harus terus  berkisah tentang masa-masa kelam. Cukuplah masa itu menjadi warna dalam hidup. Cukup dirasa tanpa harus disesali. Cukuplah diingat tanpa harus diratapi. Aku masih diriku yang dulu. Tanpa kurang suatu apapun. bahkan secara spikologi kognitif, aku tidak pernah berubah. Masih dengan penyakit yang sama. Meski penyakit ini tetap melekat, aku tetap semangat untuk meraih mimpi-mimpi ku. Aku masih tetap semangat dalam merubah dan mengurangi penyakit ini. keyakinanku begitu kuat. Akan ku taklukan penyakit ini suatu hari nanti.
Terkadang diriku tersiksa dengan keadaan ini, karena ketika melihat orang lain begitu mudahnya berekspersi lepas dipanggung sandiwara ini. Sedangkan aku yang hanya bisa berkarya dibalik layar. Penyakit ini begitu sayang padaku. Sehingga dia tetap lengket dan bahkan tidak berkurang sedikitpun sejak aku dilahirkan. Mungkin ini semua karena aku tidak pernah dibiasakan oleh ayah dan ibu untuk berlakon. Sehingga sampai sekarang masih sulit merubah semua itu.
Dengan penyakit ini, seakan mempersulit aku untuk meraih cita-cita ku berlayar ke tanah yang berbeda dari tempat kelahiran ku dan merasakan bagaimana rasanya menjadi minoritas yang sesungguhnya. Terbang dan bersinar dikejauhan sana, lebih jauh dari tempat di mana aku menempuh pendidikan Undergraduate ku saat ini. Itulah cita-cita ku sejak aku menempuh kuliah di sebuah universitas islam di kota malang. Karena doktrin-doktin yang diberikan oleh dosen-dosen yang mengajariku tentang pentingnya perjuang dan kerja keras untuk meraih cita-cita.
 Satu hal yang terkadang membuat ku merasa minder, dan bahkan merasa bahwa tidak mungkin ku raih cita itu, satu hal itu tidak lain adalah Penyakit ini, adalah saingan dan tantangan terberat dalam hidupku. Ribuan cara telah ku coba, tetapi belum ada perubahan yang menonjol dan bahkan ketika berkali-kali mencoba namun hasilnya tetap sama, di situ terkadang aku merasa sedih.
Cita-cita menginjak tanah yang beras putih itu, nampaknya menjadi angan bagi semua mahasiswa jurusan bahasa inggris, yang tentunya kuliah gratis. Keinginan ku semakin kuat. Karena hanya dengan pergi ke sana aku akan bisa membantu kedua orang tua ku beserta adik-adik ku sekolah. Ayah dan ibu lah sebenarnya menjadi sumber kekuatan bagi ku di sini. Mereka di sana bekerja. Bukan di gedung-gedung, bukan pula di tempat teduh. Tetapi mereka bekerja di tempat yang hanya beratapkan langit, yang setiap saat menyanyat kulit mereka setiap harinya. Itulah kenapa di dalam kelas, ku coba untuk aktif bertanya, meski terkadang pertanyaan yang terlontar dari mulut ku itu, tidak dimengerti oleh mereka dan bahkan sering kali aku dianggap remeh dan bahkan ditertawakan. Tetapi itu semua tidak pernah membuat ku lelah. Apalagi putus asa. Justru itu semua menjadi peluangku untuk menambah motivasi diri.
Dosen wali ku tahu betul bagaimana penyakit itu nampak jelas di dalam diri ini, sebab dulu, ketika masih semester 1. Beliaulah yang menguji aku. Ketika itu, aku mengikuti ujian remedi IEC (intensive english course). Saat itu beliau menjadi penguji speaking. Pada saat ujian itu, seperti biasa penyakit yang sangat sayang pada ku ini selalu saja menemani hari-hari ku di perkuliahan. sejak saat itulah dosen wali ini tahu bahwa aku memiliki penyakit yang mungkin orang lain juga mengidapnya, tetapi tidak separah yang aku miliki.
Kemarin, pada bulan mei, 2015. Dosen wali ku yang masih melanjutkan gelar Doctonya di australai dengan mendapatkan beasiswa tersebut, yang kebetulan beliau sedang melakukan penelitian di indonesia, diundang oleh SEMA fakultas HUMANIORA untuk mengisi seminar penelitian mahasiswa. Dan pada saat itu aku juga menghadiri acara tersebut. biasalah! Udah semester tua. Pada saat itu, beliau tanya pendapat beberapa audience tentang apa itu research? Dan ternyata aku ditunjuk oleh beliau. Sebelum dipanggil saja penyakit ku sudah kambuh, apalagi sudah dipanggil namaku. Mau tidak mau aku harus menjawabnya. Namun tidak hanya menjawabnya, aku malah disuruh maju didepan dan harus menjawabnya di depan orang banyak. OMG...!!!! tidak tahu lagi harus ngomong apa? Rasanya suaraku tertahan dan berat sekali untuk keluar.
Setelah itu, beliau bilang, “kalian tahu, kenapa  saya  menyuruh fatih maju?”saya hanya ingin tahu apa penyakitnya masih sama atau sudah berkurang.”dalam hati ku betkata, subhanallah, sebegitu pedulikah dosen wali ku ini? Andai semua dosen seperti beliau.
Itulah bedanya aku dengan mahasiswa lainnya. Jika mereka tidak memiliki penyakit seperti aku ini. Maka bersyukurlah dan manfaatkanlah itu. sebab aku tahu bagaimana rasanya memiliki penyakit seperti ini. Aku harus berjuang keras untuk menaklukan penyakitku. Aku harus terus melawan meski terkadang aku rapuh karena lelah. Inilah aku yang belum berubah, sejak kemarin hingga sekarang. Dan perjuanganku adalah melelehkan penyakit ini di masa depan. 
 (Salam perjuangan: Fatih T.N. Coretan 20 Mei 2015)


Dikala ujian nasional (UN) menjadi warna hitam di atas putih

Dikala ujian nasional (UN) menjadi warna hitam di atas putih

Pengumuman ujian nasional Tingkat SMA, beberapa minggu yang lalu telah diketahui, seiring dengan kebahagian para siswa yang lulus, tapi disisi lain, ada ketidakbahagiaan bagi MENDIKNAS, karena Tingkat ketidakjujuran nampaknya selalu ada dalam setiap tahun, meski pemerintah sudah melakukan segala upaya untuk tercapainya ujian nasional yang bersih dari kata korupsi yang berbentuk lain ini. Sepertinya UN yang bebas dari kecurangan itu hanya harapan semata, katanya tahun ini ada satu pulau yang menduduki posisi kecurangan tertinggi senasional. Dan Pulau - pulau lain pun tidak terlepas dari kecurangan, yang meski presentasi nya menengah. Lantas apa tanggapan pemerintah terhadap kasus ini?

Menurut saya, pemerintah masih belum bisa melakukan apa apa terkait kasus ini, meski sebagian dari mereka tahu pasti pelaku tersebut dan terkadang malah dijadikan sebagian permainan politik, yang selanjutnya menambah gobrok sistem yang ada di Indonesia. Padahal, UN sudah terlihat jelas, niat baik pemerintah untuk menjaring generasi-generasi muda yang pantas dan cerdas sebagai bibit unggul penerus cita-cita bangsa. Tapi sepertinya tujuan itu berdampak negatif bagi sistem yang ada. Niat baik digambarkan seperti becarik kertas putih yang dinodai oleh setitik noda hitam, seperti itulah gambaranya niat pemerintah...

Apa sebaiknya UN dihapus saja di negeri ini??
Bagaimana bisa, kecurangan selalu terjadi di tahun demi tahunnya? Lantas kenapa pemerintah tidak memperbaiki sistem yang membuat sebuah kekurangan terjadi? Misalkan pengewalan soal UN lebih diperketat lagi. Kayaknya Kecurangan Akan kerap terjadi selama aturan yang dibuat masih belum bisa membuat efek jera terhadap sekolah..
Ujian Nasional yang awalnya diniatkan oleh pemerintah untuk menghasilkan output yang berkualitas justru malah mengajarkan peserta didik dan jga pendidik untuk melakukan korupsi dengan bentuk yang seperti ini.

Lalu sampai kapan UN akan diterapkan di Negeri subur ini? Sampai kapan anak Didik nya diajari hal seperti ini?
Meski ada kejujuran yang tertanam kuat dalam diri peserta UN, tetap akan terkalalahakn oleh rasa ketakutan akan ketidaklulusan, yang akhirnya membuat yang jujur pun ikut menikmati ketidakjujuran yang disepakati bersama, yang berada di sebuah lembaga sekolah atau instansi pemerintahan.
Bagaimana seharusnya pemerintah bertindak?dan bagaimana kerjasama instansi terkait dengan pihak pemerintah? Itu harus diperkuat lagi. Pengawasan harus diperketat lagi, yang akhirnya nanti akan berimbas terhadap naiknya presentasi ketidaklulusan.

Bagaimana bisa peserta UN disuguhkan begitu banyak soal, sedangkan waktu yang diberikan sedikit, sangat tidak imbang. Terlebih lagi dengan soalnya yang tingkat kerumitannya sehingga membutuhkan waktu untuk menyelesaikan nya. Mengerjakan soalnya Ulangan saja sulit, apalagi matematika, yang soalnya masih level sekolah, terlebih lagi soal soal yang disuguhkan pusat.. Tambah pusing peserta UN nya. Ditambah lagi harus membundari identitas diri dan jawaban di LJK, yang membutuhkan ketelitian yang maksimal, salah sedikit ya berakibat fatal terhadap masa depan. Berujung pada ketidaklulusan.

Saya rasa UN sangatlah tidak mendidik, justru malah mengajarkan semua orang untuk melakukan ketidakjujuran, dihapus sajalah biar penerus bangsa tidak diajarkan melakukan kekurangan secara terus menerus dan secara turun temurun.. Lantas apakah dengan dihapus nya UN bisa memperbaiki sistem yang ada? Mungkin saja, setidaknya mengurangi pengajaran sistem korupsi, kolusi dan nepotisme. Siapa tahu, dengan ini bisa mengurangi bibit penerus koruptor di negeri ini!
mungkin kalian juga tidak harus sependapat dengan sayakita memiliki hak untuk bebas berpendapat, dan itu diatur dalam undang-undang negeri ini. Kalo ngak salah loh ya.. Kalo salah ya, Ngak apa juga.
(coretan diatas kereta api dari Kediri menuju Malang, 31 Mei 2015)