Bahaya laten korupsi, Salah siapa?
-Bahaya Laten Korupsi, Salah Siapa?
Beberapa tahun belakangan ini, Kami sering mendengar kata "cintailah produk indonesia" . Dan ini adalah sebuah usaha para petinggi dalam kancah nasional untuk menasionalisasikan "made in Indonesia". Hal serupa Adalah langkah menuju nusantara mandiri. Anehnya Kami selalu disuruh berebut berlabel "SNI", Bapak berdasi justru terpikat martabak mancanegara.
Kami tidak berdasi seperti Tuan. Tapi, kami tahu cara berdedikasi. Kami tidak pintar mendemokan "cintailah produk indonesia ", sementara istana perwakilan sesak dengan meja dan kursi cap luar pertiwi, berujung korup. Harga melongo mata, Tuan dan Nyonya anggap itu kewajaran.
Belakangan juga tersiar kabar Permintaan tunjangan juta-Jutaan yang dianggap sangat masuk nalar. Kami atas nama yang diwakili menjerit dalam kebisuan, sementara perwakilan kami sibuk mengumpulkan Dolar dan Rupiah. Apalah daya, jika Sang perwakilan tidak benar-benar mewakili. Hanya sebuah nama tanpa arti dan makna. Panggilan tanpa ruh dan nyawa.
"Katakan tidak untuk korupsi" Adalah juga virus yang disebarkan oleh tuan dan nyonya, bukan? Lalu, kalian di sumpah untuk tetap setia. Tetapi, rekan-rekan tuan semakin banyak yang serakah. Dan khidmat dalam khianat. Padahal Tuan dan nyonya loh yang membumikan "katakan tidak pada korupsi" di bumi berbhineka ini. Akankah tuan di singgasana menemui gilarannya nanti? Jangan tuan. Jangan anggap gelar "Panjang Tangan" itu adalah piala bergilir yang patut direbut - rebut. Akhirnya berbondong-bondong keluar masuk Jeruji. Bui itu begitu menyiksa dan menakutkan, bukan? Namun, fakta lapangan bersilat lidah. Andai, si "Hukum" bermakna menghukum, maka proyek-proyek triliunan itu (no need to mention) pasti berjalur jujur. Jabatan-jabatan tidak pula diselewengkan.
Kami atas nama rakyat sudah geram menonton drama panjang "Koruptor vs. KPK, KPK vs. Polri". Apa kami harus penuhi jalan-jalan seperti kejadian 89, bukan untuk melengserkan "Sang Nomor Satu" sih, tetapi untuk aspirasi supaya hak kami dicipta? Supaya hukum terbangun dari tidur pulasnya. Meruncing ke atas dan berakhir menjerakan. Apakah perlu Study banding ke beberapa negara seperti Cina, Jepang, Malaysia dan Amerika untuk menahan laju koruptor yang mengakar kuat? Tuan tak perlu menjawab. Kami tidak butuh wacana fiktif. Kami hanya butuh bukti bukan bermanis kata.
Tuan dan Nyonya yang telah hilang kehormatannya, telah lama bising telinga ini karena "ulah panjang tangan" sahabat Pejabat dan DPR menderet-deret. Tapi, Kami masih sisakan yakin sekian persen, sebab pasti masih ada orang-orang terhormat yang mewakili kami. Untuk yang masih terhormat, semoga imannya tidak tergoda dan terbeli kehormatannya hanya karena ketidakmampuan menahan keinginkayaan. Memperkaya diri dengan jalan tikus, itu adalah sebuah kemiskinan sesungguhnya. Kami rakyat nusantara tahu, Indonesia sedang dilanda krisis kepercayaan kepada Sang perwakilan . Sebab kami selalu dimanja dengan drama percintaan tuan dan nyonya dengan para penyuap. Lagi lagi kami masih percaya, disitu masih ada orang-orang terhormat yang memiliki dedikasi tinggi nan mulia. Segelintir anak manusia, yang mengungkap kebenaran dengan seadil-adilnya. Menggiring ke hakim dengan tuntas.
Semua orang setuju bahwa Pengadilan dihadirkan untuk mengadili. Lalu Apa yang akan terjadi Ketika pengadilan tidak mengadili? Menghukum tetapi tidak bermakna penghukuman. Bui tetapi tidak sepenuhnya membui. Adalah Koruptor berakar pinang. Antara DPR VS. KPK. Antara bos dan bawahan. Antara penguasa dan yang dikuasai. Dan inilah yang terjadi tersebab hukum memanjakan penjahat-penjahat berkelas bangku kuliah. Dan benarlah yang menjadi pernyataan Lord Acton bahwa "kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pastilah korup". Adalah sebuah Fakta kekinian bahwa kami masyarakat awam politik dan hukum sedang dalam zona krisis keyakinan. Krisis kepercayaan pada hukum dan lembaga-lembaga yang menaunginya, serta sederet pejabat negara.
Mengutip pernyataan bapak Abdurrahman Wahid, atau lebih sohor dengan nama Gusdur bahwa Negara Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini tidak pernah hancur karena konflik horizontal yang diakibatkan oleh perbedaan agama, suku, ras ataupun fundamentalisme. Pancasila cukup kuat menahan gejolak konflik horizontal dan sejarah telah membuktikannya.
Namun, negara ini akan hancur ketika pemimpin bangsanya korupsi dan tidak memiliki hati dalam memimpin". Bisa Bermakna Pemimpin nomor satu di peritiwi, kemudia mengakar pinang ke provinsi, kota, lurah, kabupaten, kecamatan, juga desa. Bahwa sampai kepada pimpinan yudikatif, legislatif dan eksekutif. Jika semua lini ini totalitas dalam loyalitas, menjaga komitmen sumpah setia. Maka, tidak akan ada regenerasi koruptor seperti yang terjadi sekarang.
Pertanyaan yang cukup mendasar adalah Apakah Menguatnya kejahatan korupsi adalah bukti bahwa masih bebalnya pelaku dan bobolnya sistem?? Ini Salah Siapa, ini dosa siapa?
Samarinda, 21 Juli 2017
-Alfaateeh Tajudin, iShare
0 comments: