Showing posts with label agama dan motivasi. Show all posts

Bodohnya Kami dalam ilmu Agama


“BODOHNYA KAMI”
Edisi 27 Sep. 15 Oleh: Hitaf


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Bismillahirrahmanirrahim……
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang


Sudah jelas skenario Mu. Sudah jelas ke mana kami akan berlabuh untuk selama-lamanya. Pencipta merupakan satu-satunya Sutradara yang tak dipatuhi oleh pemainnya. Anggaplah Tuhan sutradara, pengatur skenario dalam sebuah film yang berjudul kehidupan. Skenarionya selalu dilanggar oleh mayoritas actornya, lebih-lebih aktrisnya. Akan jadi apa film kehidupan jika skenarionya tak dilakoni oleh kami, para pemain? Pembunuhan, pemerkosaan, pengadudombaan, penyombong, pengangkuh, peria, pelaku kekerasan, pelawan sunnah, pelawan firman, pendengki, lesbiyan, homoseksual, perzinahan, pengumbar aurat, punuk unta, pemakai aurat tapi telanjang yang seharusnya tidak ada dalam skenario malah terjadi sedermikian rapi, sehingga filmnya jauh dari yang diharapkan.

Tuhan ciptakan dua makhluk bernama syurga dan neraka,  supaya kami takut pada yang satunya dan berharap pada satunya. Itu semua sebagai penyemangat mendekatkan diri pada-Nya. Seperti halnya dalam sebuah perlombaan, semakin besar harga yang diperebutkan maka semakin menggebu semangat meraihnya. Begitulah seharusnya kami bersikap. Tapi kami memang begitu bodohnya. Sebodoh itukah? Kenapa kami suka melanggar skenario itu? meski kami para pelanggar Firman dan Sunnah, tapi diakhir hidup kami, kami tetap mengiba pada Tuhan, Sang pemilik skenario, agar ending dari film yang kami perankan berakhir Bahagia. Happy ending. Pantaskah harapan itu?
Kami begitu pintar berlakon, memainkan peran dengan sejuta kejahatan. Bagaimana tidak , kami adalah para akhli dalam berbagai bidang keilmuan. Kami akhli dalam membaca, menulis, apalagi mendebatkan Firman dan Sunnah. Mendebatkan kedunya adalah hobi kami. Makanya ada bait syair yang mengatakan, “ Sampaikanlah Sunnah, jika manusia mengajak mu berdebat maka DIAMLAH”. Itulah kami, hal dilarang kerap kami langgar. Sehingga, kami makin jauh dan menjauh dari syari’at islam. Bagaimana bisa kami masih berharap Tuhan akan membahagiakan kami diakhir cerita? Itulah kami yang bodoh tapi dililit oleh kepintaran semu.

Kami takut nerakaMu, tapi kami lupa cara meraih surgaMu. Diantara lupa dan aniaya, sehingga kami lebih tepat disebut lalai. Sampai kapan kami lalai? Sampai saatnya kami terbungkus oleh kain tipis berwarna putih. pada saat inilah putih yang melilit kami tak lagi menggambarkan kesucian. Suci yang didalamnya terdapat sejuta bercak hitam yang tak mungkin lagi bisa dibersihkan dengan kata “TAUBAT” meski tuhan adalah maha penerima taubat. Karena “Sesungguhnya Allah menerima pertobatan hambaNya sebelum nyawa sampai ketenggorokan (HR. Ahmad).
Hukum keseimbangan yang Tuhan sediakan seharusnya kami lakoni, agar semua terraih. Dunia dan akhirat. Tetapi kami begitu bodoh. Dunia lebih menawarkan kehidupan nyata, kesenangan yang bisa diindera, kebahagiaan tanpa ada embel-embel kosong seperti surga, yang entah di arah mana ia bertahta. Sehingga kami lebih memilih kebagiaan dunia yang membawa kami terlelap sedemikian dalam di dalamnya. Sampai akhirnya kami lupa akan adanya dua kehidupan dengan kesenangan hakiki dan kesengsaraan abadi. Apakah kami masih bisa meraih kesenangan dan kebahagiaan hakiki itu? jawabannya adalah masih, selagi nyawa masih dikandung badan. Dengan catatan, pelajari firman-firman Tuhan, sunnah-sunnah Rasul-Nya. Kemudian terapkan dalam setiap lakonan episode kehidupan. Jika kami mau membaca maka pastilah ini sangat familiar: (kutipan dari Blog Ustadz Abdullah Taslim, MA) Dari ‘Amr bin ‘Auf bin Zaid al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun“(HR Ibnu Majah no. 209, pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, oleh karena itu syaikh al-Albani menshahihkannya dalam kitab “Shahih Ibnu Majah” no. 173)
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan besar bagi orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Oleh karena itu, Imam Ibnu Majah mencantumkan hadits ini dalam kitab “Sunan Ibnu Majah” pada Bab: “(Keutamaan) orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan (manusia)” (Kitab “Sunan Ibnu Majah” (1/75).)

Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata, “Orang muslim yang paling utama adalah orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan (manusia), maka bersabarlah wahai para pencinta sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena sesungguhnya kalian adalah orang yang paling sedikit jumlahnya (di kalangan manusia)” (Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi” (1/168)
Tapi senyata apapun bunyi hadis diatas, tetaplah saja banyak yang memandang sinis pelakon sunnah, terlebih lagi penerap Firman Tuhannya, masih aja dibilang TERLALU dan SOK SUCI. Pantaskah hal demikian tertutur dari sesama Muslim? Bagaimana hal ini bisa terjadi dikalangan Internal Umat Islam? Ilmu yang tak pernah menjamah dirikah? Atau karena banyaknya sekte sehingga amalan sunnah yang dikerjakan oleh suatu golongan dianggap terlalu RASIS?

Hal-hal secuil, yang dianggap remeh inilah yang terkadang skenario Tuhan dalam sinetron yang berjudul kehidupan menjadi tak layak disebut-sebut. Tuhan tak bertitah untuk melakukan hal itu. tapi aktor beracting semaunya sendiri. Jadilah kami pembangkang bertuhankan nafsu amarah. Jadilah Tuhan satu-satunya penyusun skenarion yang paling diminati untuk dilanggar aturan skenarionya. Skenario Tuhan cukup simple dan sudah terlansir jelas dalam kitab suci-Nya. Al-quran. Serta diperinci oleh Sunnah Rosulnya, hal-hal yang masih bersifat Global. Lantas masihkah kami bingung ke mana arah untuk berlabuh di akhir cerita? Untuk menjawab kebingungna itu adalah dengan cara memuridkan diri dalam majelis-majelis ilmu, perbanyak baca dan mengkaji. Jika tidak sekarang kapan lagi. Mencari ilmu selagi ilmu belum diangkat oleh Allah. Sungguh para ulama merupakan pelita bagi umat. Keberadaan mereka sangat penting dalam membimbing dan mengarahkan umat ini ke jalan hidayah, dengan berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Sungguh kepergian mereka merupakan musibah besar bagi umat ini. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta mencabutnya dari hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ‘ulama. Kalau Allah tidak lagi menyisakan seorang ‘ulama pun, maka manusia akan menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh. Kemudian para pimpinan bodoh tersebut akan ditanya dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan. [Al-Bukhari (100, 7307); Muslim (2673)]

Sepertinya hadis diatas merupakan sebuah tamparan sekaligus cambukan semangat bagi generasi penerus aktor dan aktris dalam sinetron kehidupan yang disutradarai oleh Pencipta itu sendiri. Jangan sampai sadarnya kami setelah ilmu telah diangkat oleh Allah. Jangan sampai. Maka dari itu patutlah ini akan menimbulkan ketakutan tersediri dalam hati  sanubari. Jika ketakutan itu belum lahir. Maka patutlah dipertanyakan keislamannya. Wallahu ‘alam. Kritis dan saran sangat diperlukan.